ATMOSFER perkotaan Garut di putaran tahun 1960-an, laksana wajah kota
dalam film western. Pemandangan kota kecil, yang berharga klasik.
Beralasan, saat layanan jasa KA Garut selesai, warga pun tiada habis
bertanya, terkait lagi dengan cerita orangtua. ”Jaga kareta api teh
bakal nepi ka Pameungpeuk. Mun geus nepi ka pakidulan, cirining nagari
bakal subur ma’mur loh jinawi” (”Nanti kereta api akan sampai ke
Pameungpeuk. Jika sudah menepi ke selatan, itu pertanda negeri akan
subur makmur loh jinawi”).
Akan tetapi, lakon kereta api di Garut tak sempat menembus kawasan
selatan. Agaknya, kenyataan itu bukan menepis cerita angin surga dari
kalangan leluhur. Tak lain, karena kesaksian alm. M. Endang mantan
petugas DKA menuturkan, bahwa sebenarnya tahun 1945 pemerintah pernah
merancang penyambungan rel KA, dari stasiun Cikajang ke Pameungpeuk
Garut. Upaya memanjangkan rel KA sejauh 50 km itu terhenti, karena
benturan teknis.
Kebutuhan bentangan rel, terbenteng dinding Pegunungan Batu Tumpang
di Cikajang. Alur jembatan KA pun harus banyak mengangkangi kedalaman
lembah yang sangat curam. 49 tahun kemudian, angin segar kembali
bertiup. 18 Maret 1994, saat Dr. Haryanto Dhanutirto menjabat Menteri
Perhubungan RI, mengungkapkan bahwa pemerintah bersiap membangun lagi
perkeretaapian di Garut.
Menurut Menhub selepas berziarah ke makam keluarganya di Cisurupan,
pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan survei untuk meneliti
kelayakan kondisi jalur rel kereta api, dari Cibatu hingga Cikajang
sejauh 50 km. Uniknya, sebelum itu terumbar kabar ganjil, tentang
keretakan dinding Pegunungan Batu Tumpang, yang dianggap bukan pekerjaan
manusia. Banyak orang memaknai itu sebagai isyarat akan terwujudnya
jalan kereta api ke pesisir selatan Garut.
Kenyataan lain berpaling dari rancangan. Upaya mengembalikan kejayaan
KA Garut justru memanjangkan obsesi lama. Puluhan tahun sudah, legenda
lok Si Gombar tak berdaya lagi membelah keramaian Kota Garut. Segenap
lapisan warga Garut kehilangan. Terlebih, karena kereta yang melintas
lima kali dalam sehari itu, mengental sebagai patokan waktu. Oleh karena
itu, warga Garut pernah tersentak, saat suatu sore KA muncul menarik
gerbong tangki.
Berulang kali terjadi, kehadiran kereta api dengan rangkaian gerbong
tangki. Terkabar, Perumka kembali mengoperasikan KA Cibatu-Garut, hanya
untuk memasok BBM ke PTG (Pabrik Tenun Garut). Namun, kemitraan Perumka
dengan pabrik tenun legendaris Garut itu tak berlangsung lama, karena
dinilai tidak saling menguntungkan. Kondisi seperti itu pula yang
terjadi pada tahun 1955, ketika KA Garut menjajaki layanan jasa trayek
ke Bandung.
Jelang penghentian operasi KA, lengkingan ”Si Gombar” tak lagi
nyaring. Gemuruh lokomotif bertenaga uap itu, bagai helaan napas ketuaan
yang harus tersenggal-senggal. Kondisi lokomotif KA sakit-sakitan. Laju
kereta tak bisa lagi berpacu dengan waktu. ”Raksasa Hitam” bergelar ”Si
Gombar” itu pun ambruk. Bahkan, orang mampu mengejar laju kereta yang
bertolak dari Halte Wanaraja ke arah Halte Cinunuk, menyusuri rentang
jarak 1 kilometer.
Tentu saja, karena kereta api bergerak lamban dengan sisa tenaga masa
lampau. Acap kali pula terjadi, kereta mundur lagi ke jalanan datar,
sebelum merangkak melintasi tanjakan tajam memanjang di kawasan
Cikajang. Citra KA di Garut lalu memburam. Memang ”Si Gombar” pernah
berganti wajah lokomotif diesel. Akan tetapi, kereta modern itu tak bisa
melumat beratnya tanjakan rel di celah lahan berbukit itu. (Dok.
Pariwisata, "PR"; 16/4/11)***
0 komentar:
Posting Komentar